Pembagian Waktu Penuntut Ilmu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 15 Februari 2025 M / 16 Sya’ban 1446 H
Kajian sebelumnya: Adab Penuntut Ilmu
Kajian Islam Tentang Pembagian Waktu Penuntut Ilmu
Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas beberapa hal penting:
* Menyiapkan hati sebagai tempat ilmu. Ini menjadi langkah awal yang sangat penting bagi seorang penuntut ilmu.
* Wajibnya keikhlasan dalam belajar.
* Sikap qana’ah (puas dan ridha) dalam menuntut ilmu. Jika seorang ṭālibul ‘ilm ridha dengan pembagian Allah, maka ini adalah tanda kesuksesannya dalam menuntut ilmu.
* Mendahulukan waktu untuk belajar sebelum terhalang oleh kesibukan lain, terutama di usia muda.
Bahkan, dalam kitab ini, penulis menyebutkan bahwa jika memungkinkan, seorang penuntut ilmu sebaiknya tidak menikah terlebih dahulu. Alasannya, realitanya menunjukkan bahwa setelah menikah, seseorang akan menghadapi lebih banyak rintangan dalam belajar. Meskipun kondisi setiap orang berbeda, secara umum, mereka yang belum menikah memiliki kebebasan waktu lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah menikah.
Kemarin, kita juga telah menyebutkan perkataan sebagian ulama, seperti Sufyān ats-Tsaurī raḥimahullāh:
“Barang siapa yang menikah, maka ia seperti menaiki perahu di tengah lautan—ia mulai terombang-ambing dan menghadapi konsekuensi yang tidak mudah. Dan barang siapa yang dikaruniai anak, maka perahunya telah pecah.”
Artinya, setelah menikah, menuntut ilmu tidak lagi semudah ketika masih sendiri. Ia akan menghadapi berbagai tanggung jawab yang bisa menghambat kebebasannya dalam belajar dan menghafal.
Dahulu, Ibnu Syihāb az-Zuhrī raḥimahullāh—seorang alim ahli hadis, guru dari Imam Mālik, yang wafat pada tahun 124 Hijriah—begitu gemar membaca buku hingga istrinya cemburu kepada buku-buku yang ia baca.
Namun, zaman sekarang tidak seperti itu. Tidak perlu lagi ada kecemburuan seperti dahulu, karena baik yang menikah maupun yang tidak, sama-sama sibuk dengan gadget.
Dalam kehidupan keluarga zaman sekarang, ada yang mengatakan bahwa “HP mendekatkan yang jauh, tetapi menjauhkan yang dekat.” Akibatnya, banyak keluarga yang secara fisik bersama, tetapi masing-masing sibuk dengan HP-nya. Sehingga, muncul istilah “keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah” (SAMAWA), yang akhirnya diplesetkan menjadi “Sama-sama buka WhatsApp”.
Ini tentu bukan hal yang baik dan tidak terpuji, terutama ketika momen kebersamaan dalam keluarga malah terganggu oleh kesibukan masing-masing dengan ponselnya. Ini adalah kebiasaan yang harus diperbaiki.
Para ulama menyebutkan bahwa bergadang pada dasarnya hukumnya makruh. Hal ini disebutkan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azīz as-Saḍḥān dalam kitab Ma’ālim fī Ṭalab al-‘Ilm. Beliau mengatakan bahwa hukum asal bergadang adalah makruh.
Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyuka..." class="jsx-4145644783 jsx-2435782980">